Selamat datang di Novo Olshop ! Pilih barang yang anda inginkan dan sms atau WA ke 0838 4000 1415

Kamis, 01 Maret 2018

Prasasti Poh : Batu atau Emas?



Ini bukan prasasti Poh.
Selama ini ada kesalahan yang kaprah di masyarakat tentang prasasti Poh.  Prasasti tersebut digambarkan sebagai prasasti Batu yang ditemukan di pemakaman Gunung Tengis, dusun Dumpoh, kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara.  Padahal, batu yang disinyalir sebagai prasasti atau replika penanda prasasti tersebut diletakkan oleh sekelompok seniman yang melakukan syuting film dalam rangka nguri-uri warisan leluhur.  Lalu bagaimanakah cerita sebenarnya tentang Prasasti Poh?

Sebenarnya, Poh adalah nama yang disematkan untuk menyebut prasasti tembaga beraksara Kawi yang ditemukan di dukuh Plembon, Desa Randusari, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.  Prasasti yang ditemukan dekat candi Prambanan tersebut disebut juga dengan Prasasti Randusari 1, berbentuk dua lempeng (lembar) tembaga berukuran panjang 50 cm dan lebar 20,5 cm.  Prasasti itu dikoleksi oleh KGPA Hadiwijoyo bangsawan keraton Mangkunegaran, Surakarta.  
Prasasti Poh

Prasasti Poh


Alih aksara prasasti Poh pertama kali dilakukan oleh W.F. Stutterheim pada tahun 1940 dalam buku Inscripties van Nederlandsch Indie dengan judul Oorkonde van Balitung uit 905 A. D. [Randoesari I].   Dari alih aksara didapat banyak ilmu pengetahuan lanjutan misalnya bahwa desa Poh dimerdekakan pada tahun 827 Saka, bulan Srawana, tanggal 13 paro-terang [suklapaksa], paringkelan Paniruan [sadwara], pasaran Pon [pancawara], hari Budhawara [saptawara] yang menurut ahli penanggalan dari Perancis yaitu Louis-Charles Damais sama dengan hari Rabu Pon tanggal 17 Juli 905 Masehi. 

Desa Poh dimerdekakan secara pajak oleh raja Mataram Kuno (Medang) saat itu yaitu Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu atau lebih sering disebut Dyah Balitung (899 – 911).  Berbeda dengan jaman sekarang yang kata dyah sering disematkan bagi nama perempuan, raja Dyah Balitung adalah seorang laki-laki.  Maharaja ini diperkirakan naik tahta dari jabatan sebelumnya sebagai raja kecil di daerah Purworejo sekarang.  Berdasarkan penetapannya, prasasti Poh berusia lebih tua 2 tahun dari prasasti Mantyasih yang dijadikan patokan Hari Jadi Kota Magelang.

Isi pokok prasasti ini terdapat dalam plat 1b baris 3 dan 5 yaitu “…paknan yan sinususk caitya mahaywa silunglung sang dewata lumah i pastika…” yang berarti penetapan desa Poh menjadi sima (desa perdikan bebas pajak) dalam rangka mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya.  Kata silunglung pada awalnya tidak diketahui artinya.  Menurut W.F. Stutterheim, silunglung berarti bangunan candi permanen untuk mengabadikan tempat suci yang ditandai oleh silunglung.  Goris berusaha menjelaskan bahwa silunglung merupakan bangunan sementara yang didirikan untuk menyimpan tulang dan abu pasca kremasi.  Adapun penjelasan Profesor Zoetmulder dianggap lebih diterima para ilmuwan, beliau mengartikan bahwa caitya bertugas sebagai kendaraan (menuju dunia fana) bagi raja yang diabadikan di Pastika (untuk meraih kebebasan dari lingkaran kehidupan).


Prasasti Poh juga menyebut “…wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang….. poh 827 C” yang berarti wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang.  Artinya, desa Poh, dusun Rumasan, dan dusun Nyu semuanya termasuk lungguh kinawang.  Para tetua di desa dan dusun tadi diceritakan mempersembahkan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna.  Rakyat jelata juga dikatakan mendapat hadiah. Selain itu disebutkan juga nama para pejabat, penduduk desa, saji-sajian yang digunakan dalam upacara manusuk sima tadi, dan nama-nama desa lainnya.  Beberapa penguasa desa yang turut diundang yaitu dari desa Mantyasih, desa Glangglang, dan desa Galang.   

Seperti diketahui, ibukota Mataram Kuno (Medang) berpindah-pindah saat masih di area Jawa Tengah yaitu Bhumi Mataram, Mamrati, Poh Pitu, dan kembali ke Bhumi Mataram sebelum pindah ke area Jawa Timur.  Poh Pitu merupakan ibukota kerajaan saat prasasti Poh dibuat.  Setiap prasasti kadang-kadang dibuat salinan, satu untuk desa bersangkutan dan satu disimpan di pusat administrasi kerajaan.  Bisa juga sebuah lempeng prasasti telah berpindah atau tidak in situ sejak beratus tahun lalu.  Jadi, meski lempeng ditemukan di area Prambanan bukan berarti dusun atau desa tempat ditemukannya merupakan desa Poh.  Nama desa Plembon tempat ditemukannya prasasti Poh lebih berarti blengkok yang berarti tikungan atau plengkungan jalan menjadi kata plembongan atau plembon.  Adapun desa Poh dalam prasasti Randusari 1 ini sering diidentikkan dengan desa Dumpoh yang berada di sisi barat laut kota Magelang.

Dari isi kalimat prasasti Poh di atas, terlihat bahwa desa Poh masuk dalam area tanah lungguh.  Tanah lungguh dikuasai oleh seorang bangsawan yang tinggal di dalam jeron beteng.  Tanah lungguh ini merupakan daerah inti atau negaragung yang tidak dikuasai oleh para raja kecil dibawah maharaja.  Dengan kata lain, apabila desa Poh merupakan desa Dumpoh saat ini berarti area Magelang merupakan area di dekat pusat kerajaan.  Jarak desa Poh dengan pusat kerajaan tidak diketahui namun relatif dekat.  Dengan kata lain, pusat kerajaan yang saat prasasti Poh ini ditulis beristana di Poh Pitu menandakan bahwa desa Poh (=dusun Dumpoh) ditengarai bukanlah Poh Pitu.

Terlepas dari apakah Dumpoh merupakan Poh Pitu atau bukan, desa tersebut merupakan desa yang tercatat dimerdekakan paling awal di area Magelang.  Alasan pemerdekaannya sangat mulia yaitu karena mengelola bangunan suci.  Poh sendiri berarti pohon mangga (magnifera indica), salah satu jenis pohon asal India yang disucikan dari beberapa nama pohon suci lainnya (oleh penganut Hindu saat itu) sehingga diperkirakan di desa ini merupakan desa yang agamis dan menghormati peninggalan raja sebelum raja masa itu.  Dalam kata modern saat ini, masyarakat desa Poh merupakan masyarakat yang relijius dan melestarikan bangunan cagar budaya (BCB).  Jadi, masih mau kalah dengan masyarakat kuno?  Semoga tidak.

1 komentar:

  1. Jadi...didumpoh tidak ada prasasti...
    Hanya batu penanda saja...bukan asli keberadaan prasasti poh...

    BalasHapus