Selamat datang di Novo Olshop ! Pilih barang yang anda inginkan dan sms atau WA ke 0838 4000 1415

Selasa, 30 Mei 2017

Tradisi Seninan di Magelang



Pernah Dipublikasikan tanggal 19 Mei 2016
oleh Novo Indarto
Pada tahun 1813, Danoekromo yang ditunjuk Raffless menjadi penguasa Kedoe Tidar memilih sebuah tanah lapang diantara Sungai Progo dan Sungai Elo sebagai pusat kotanya. Di tengah agak ke utara ia tanam pohon beringin, sebuah pohon yang saat itu disakralkan selama ribuan tahun sebagai pelindung dan lambang kekuasaan.
Danoekromo yang seorang keturunan Arab mendirikan sebuah mushola di sebelah barat dan ia sendiri membangun kediaman di sebelah utara. Orang Belanda sangat berbeda. Mereka yang tidak mempunyai gunung di negaranya sangat terpesona akan keindahan Gunung Sumbing sehingga mendirikan rumah residen tepat di atas Progo Valley. Kaidah perkotaan tetap mereka patuhi dengan voorgallerij menghadap timur namun achtergallerij yang lebih megah tidak bisa tidak tetap menghadap keindahan, sang Sumbing.
Kembali ke pusat kota, kondisi jalanan yang mengitari tanah lapang tersebut belum seperti sekarang, masih berupa tanah tidak begitu lebar dengan batas rerumputan. Masyarakat yang melewati area tersebut harus berjalan dengan sopan, tidak boleh sembrono, dan pelan-pelan atau alon-alon dalam bahasa Jawa. Lidah eropa dan penulisan latin mereka eja dengan kata “aloon-aloon”. Pelafalan tersebut sudah ada sejak era Mataram Islam di Kotagede. Pelafalan o pepet dan o taling yang berbeda antara orang Jawa dengan orang Eropa justru bermuara pada pelafalan aloon-aloon ala Eropa. Jadilah kita kenal sekarang istilah alun-alun.
Lima puluh tahun setelah wilayah tersebut dinamakan Magelang, suasana masih asri. Setiap senin diadakan turnamen ketangkasan tombak di atas kuda. Pesertanya bukan sembarang orang namun kaum ningrat utamanya para adipati yang berdatangan dari daerah lain. Setiap penguasa pada saat itu memang wajib memiliki ketangkasan dasar. Mereka datang diiringi abdi dalem pengiring dengan songsong yang menunjukkan kekuasaannya.
Suasana sangat meriah untuk ukuran waktu itu. Masyarakat berdatangan untuk menyaksikan ketangkasan. Para bakoel makanan dan pedagang berjualan di sekitarnya. Sebagian dari mereka membawa barang dagangannya mengelilingi beringin sebelum acara berlangsung dengan kepercayaan dagangannya akan lebih laku. Mereka berharap masyarakat yang berduyun-duyun datang ke alun-alun untuk menonton uji ketangkasan nglarisi’ dagangan mereka. Sebuah simbiosis mutualisme, sebuah budaya cantik yang diharapkan bisa langgeng dengan pengaturan arif nan bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar