Selamat datang di Novo Olshop ! Pilih barang yang anda inginkan dan sms atau WA ke 0838 4000 1415

Jumat, 12 Januari 2018

Seri Tata Kota



Boog Kotta Leiding :
Saat Kota ini Bercerita tentang Air
Penyusun : Novo Indarto
Courtesy of KITLV
PENDAHULUAN
Air adalah kehidupan.  Itulah alasan kenapa manusia (di masa lalu) akan membangun rumah di dekat sumber air.  Saat manusia-manusia lain ikut membangun rumah tidak jauh darinya, akan tercipta pemukiman yang tumbuh secara alami.  Untuk kota yang sengaja dibangun, pasti dipertimbangkan darimana ia akan mendapatkan air.  Magelang merupakan sebuah kota yang sangat tua, telah terdeteksi keberadaannya sejak sebelum tahun 907 Masehi (desa Mantyasih).  Mantyasih yang saat ini ditengarai sebagai wilayah Meteseh berada di Progo Valley, tidak jauh dari sungai.  Bagaimana dengan pusat kota Magelang? 

Danoekromo anak guru ngaji Kraton Yogyakarta yang ditunjuk Raffless untuk menjadi Bupati (regent) Magelang dengan gelar Danuningrat 1 memutuskan dataran yang saat ini menjadi alun-alun sebagai pusat kota yang dipimpinnya.  Dataran pusat kota Magelang cenderung cembung diapit 2 sungai besar (Elo dan Progo) namun tidak mempunyai mata air dan tidak pula keluar air saat dibuat sumur.  Konon ada lempeng batu hitam yang sangat luas di bawah tanah Magelang sehingga air tanah tidak bisa keluar permukaan tanah.

Air pada awal tahun 1800-an dibutuhkan masyarakat Magelang untuk minum, masak, MCK, wudhu untuk sholat di masjid Agung, dan irigasi pertanian yang saat itu belum begitu jauh dari pusat kota.  Darimana mereka mendapatkan air?  Padahal hingga awal tahun 1900-an, sebagian masyarakat muslim Magelang masih terbiasa berwudhu di sungai Progo sebelum sholat di masjid Agung. 

UTARA MAGELANG
Air selalu mengalir ke bawah, karenanya membicarakan aliran air di Magelang berarti membicarakan arah dari utara ke selatan.  Apabila ingin mengairi dataran Magelang, berarti harus membicarakan area utara Magelang.  Dalam hal ini, ada sebuah literatur sangat penting yaitu buku de Afdeeling Statistiek ter Algemeene Secretarie tahun 1871 tentang Residentie Kadoe (Karesidenan Kedu).

Dalam buku itu disebutkan bahwa menurut para pemimpin pribumi di Kadoe, sebelum orang Eropa masuk telah ada 8 saluran irigasi di distrik Lempoejang, Prapak dan Magelang. Di distrik Magelang sendiri ada dua saluran irigasi yang mengalir dari bendungan di Kali Elo, yaitu bendungan di Goenoeng Saren yang dibangun oleh penduduk pada tahun 1770-an dan bendungan Kali Elo di sekitar Payaman yang dikenal dengan nama Soemberan yang juga dibangun oleh masyarakat pada tahun 1780-an.  Jadi harus digarisbawahi bahwa orang lokal telah membuat saluran air.

Ditilik dari tahunnya, nyatalah bahwa area Magelang yang berada di bawah kerajaan Ngayogyakarta sejak 13 Februari 1755 mulai dibenahi oleh Sultan Hamengku Buwono 1.  Beliau saat masih bergelar Pangeran Mangkubumi telah menjelajah area Kedu termasuk bukit Tidar selama peperangan sehingga mengenal seluk beluk sumber air.  Dataran Magelang saat itu merupakan stepa luas yang dihuni rusa seperti Afrika tanpa aliran air di tengahnya. 

Saat Inggris berkuasa di Kedoetahun 1811, semua saluran irigasi tinggalan HB 1 dalam keadaan bobrok.  Mereka kemudian memperbaiki saluran irigasi Soemberan hingga bisa berfungsi. Kemudian di masa pemerintahan Belanda berkuasa di Kedoe, hanya saluran irigasi Soemberan yang dapat berfungsi. Saluran irigasi yang lain nyaris tidak berfungsi.  Saat Perang Jawa (Perang Diponegoro), kota Magelang merupakan pusat pemukiman orang-orang Eropa dan bupati Magelang menentang Pangeran Diponegoro sehingga kota Magelang menjadi salah satu sasaran perang.  Jalan dan jembatan banyak yang rusak.  Saluran irigasi bahkan tinggal tersisa 1 paalpanjangnya.  Kota Magelang nyaris tanpa air.  Tahun 1827 saat perang masih berlangsung, saluran irigasi Soemberan diperbaiki dan dijaga ketat agar tidak dihancurkan lagi.

Setelah perang, saluran irigasi ini mulai mendapat perhatian serius. Pada tahun 1831 dibuat rencana penggalian kanal yang bersumber dari kali Elo.  Pemerintah Hindia Belanda menghendaki agar proyek itu ditangani oleh ahli bangunan air.  Maka pada tahun 1834 proyek tersebut diserahkan kepada pimpinan Wapen der Genie (kesatuan tentara di Hindia Belanda). Penelitian pertama dilakukan pada tahun 1838, biaya proyek tersebut diperkirakan f. 15699.70 uang tembaga/benggol.  Jumlah tersebut cukup besar karena saluran irigasi itu diproyeksikan mengubah 800 bahu (bouw) tegalan menjadi sawah di selatan Magelang.

Saluran irigasi ini akan mengalirkan air dari bendungan (dam) di kali Elo yang akan dibangun di Goenoeng Saren yang letaknya cukup tinggi. Pada tahun 1848 pekerjaan dimulai, tetapi berhenti pada bulan Juli.Penghentian proyek itu dilakukan karena beberapa sebab, antara lain:  Sejak awal sudah ada perdebatan apakah air dari kali Elo mencukupi untuk dialirkan sampai ke selatan Magelang agar dapat dicetak sawah-sawah baru meskipun bendungan ditinggikan. Mereka mengusulkan untuk menambah debit maka air kali Progo juga harus dibendung.  Usulan terakhir ini hanya sebatas cita-cita. Penyebabnya adalah kurangnya dana. Para insinyur pesimis akan hasil akhir proyek kalau bendungan ditinggikan tapi tidak dipasang benteng penguat.  Konsekuensinya adalah pembengkakan biaya.

Courtesy of alm.Tony Kusumahadi

SALURAN LAMA
Pada Peta Kaboepaten Magelang tahun 1855 didapat temuan menarik berkaitan dengan air, yaitu adanya saluran kecil (creek).  Saluran tersebut membelah dataran Magelang dari daerah Secang di utara hingga daerah Sekaran di selatan melewati sisi barat gunung Tidar (dahulu bukit sering disebut sebagai gunung). 

Tidak ada catatan tentang pembuatan saluran melewati kota sehingga saluran ini tidak diketahui dibangun kapan.  Kemungkinan besar, saluran ini merupakan saluran masa Hamengku Buwono 1 yang telah disebut di atas.  Di masa kini, aliran tersebut hanya berbentuk seperti got namun di masa lalu mempunyai jasa yang sangat penting.  Ia mampu mengalirkan debit air yang deras, dan jernih.  Sisa saluran lama yang kini dipandang sebelah mata, kering, dan hanya terisi air saat hujan ini (harus DIPERTAHANKAN sepanjang masa sebagai bagian sejarah kota) masih dapat dijumpai di barat Tidar seperti terlihat pada gambarini.

Courtesy of KITLV
Perencanaan saluran air yang dibuat oleh Belanda bukanlah dalam rangka membuat saluran baru namun bagaimana meningkatkan debit air agar bisa menciptakan banyak sawah.  Semakin banyak sawah berarti semakin banyak pula pemasukan negara.  Buku Führer auf Javatahun 1890 menyebutkan lokasi sawah atau tanah basah ada di Pajaman, Blambangan, Sedjang. Grabak, Sutjen. Sementara area tanah kering untuk ladang kacang, ketela, jagung, bungkil ada di Tonorogo, Pradjenan, Kledokan, dan Mendut.

Satu misteri lain tentang pengairan sawah adalah dari lukisan Stuers yang menggambarkan bentangan sawah nan luas pada tahun 1830 di sebelah timur gunung Tidar.  Darimana air didapat untuk mengairi sawah padahal pada tahun 1855 baru ada satu saluran creek membelah kota dan melewati barat Tidar (bukan Timur)?


KALI MANGGIS
Seiring perkembangan masa kolonial, administrasi pemerintahan mulai rapi.  Salah satu catatan yang penting adalah tentang kebakaran rumah.  Material rumah masyarakat yang terbuat dari bambu dan sumber cahaya malam hari yang menggunakan api sering menyebabkan kebakaran.  Ada sebuah catatan tentang kebakaran bangunan penting yang sayangnya tidak dijelaskan lebih lanjut tentang apakah bangunan itu.  Air sulit didapatsehingga bangunan ludes terbakar.  Saluran yang ada tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut sehingga masyarakat diwajibkan mengisi air di bambu pada musim kemarau untuk siaga kebakaran.

Menurut buku de Afdeeling Statistiek ter Algemeene Secretarie, pemerintah Hindia Belanda akhirnya memutuskan membangun bendungan baru di kali Elo dekat desa Soember Ketandangpada tahun 1856. Bendungan pun dibangun di desa MANGGIS.  Pekerjaan ini disubsidi pemerintah dalam bentuk dana dan tenaga ahli.  Pekerjaan tersebut menurut buku “Magelang, Middelpunt van den Tuin Van Java” selesai pada tahun 1857 dan mampu mengaliri sekitar 625 bau sawah.

Saluran tersebut kemudian dikenal dengan nama kali Manggis.  Sumber airnya didapat dari 2 sungai utama yang membatasi Kota Magelang di sisi Timur dan Barat, yaitu Sungai Elo dan Sungai Progo. Sungai Elo dibendung di Dusun Manggis, Desa Payaman, Kec. Secang, Kab. Magelang (dinamakan Bendung Plered).  Adapun Sungai Progo dibendung di Dusun Badran, Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung (dinamakan Bendung Badran). Kedua bendungan inilah yang menjadi sumber aliran Kali Manggis.  Kedua aliran dari dua sungai tersebut dipertemukan jadi satu di timur Payaman, tepatnya di Dusun Candi Umbul, Desa Kartoharjo seperti foto disamping.

Pada bulan Oktober 1858, bendungan di kali Elo (Goenoeng Saren dan Soemberan) rusak diterjang banjir. Pemerintah menganggap pemulihan dan pemeliharaan rutin harus dilakukan oleh para pemilik perkebunan dan masyarakat secara gotongroyong (tidak dibayar pemerintah).  Kalaupun ada pengeluaran dipersilakan diambil kontribusi dari kas daerah.  Namun konsep tersebut rupanya tidak berjalan mulus.Pada tahun 1870, proyek itu sudah tampak kemajuannya dan pemerintah telah mengeluarkan dana sebanyak f.160,- untuk pembelian alat dan material.

Membicarakan kali Manggis akan selalu mencapai titik misteri yaitu desa Manggis tidak dijumpai lagi di masa sekarang.  Banyak yang mengatakan bahwa desa (dusun – entahlah) tersebut  berubah nama menjadi Plered yang masih ada hingga sekarang.  Tidak ada yang tahu mengapa nama Manggis berubah menjadi Plered.  Prediksi penulis, nama Manggis tidak berubah menjadi Plered.  Orang Jawa tempo doeloe mempunyai kebiasaan menamai tanah tak berpenghuni (yang kadang nama tersebut bertahan saat telah menjadi pemukiman) berdasarkan beberapa hal.  Pertama, sesuai kejadian yang pernah terjadi di tanah itu (misalnya Simaling atau Sibegal).  Kedua, sesuai bentuk tanah (misalnya Sicacing).  Ketiga dan yang paling sering, sesuai apa yang paling banyak ada di lokasi itu (misalnya Pandan Wangi, Siwaluh, Cemoro Sewu, Manggis).  Dengan demikian, Manggis merupakan nama kebun yang ditumbuhi pohon-pohon manggis atau sebuah dusun kecil bernama Manggis.  Area tersebut dikosongkan untuk kepentingan pembuatan bendungan.  Karena dibangun di area bernama Manggis, maka salurannya dinamakan saluran Manggis.  Area Manggis sama sekali tidak ada di peta, yang ada hanya Plered.


BOOG KOTTA LEIDING

Ada sebuah keunikan di kota Magelang yang sepertinya tidak dijumpai di kota-kota lain di Indonesia, yaitu adanya saluran air (kanal) membelah kota sejauh 5 kilometer di atas gundukan tanah memanjang dengan ketinggian bervariasi hingga 8 meter.  Kanal kecil yang disebut boog kotta leidingitu bermula dari pecahan saluran kali Manggis dikelurahan Kedungsari dan berakhir di kelurahan Jurangombo Utara.

Keberadaan boog kotta leiding masih menjadi tanda tanya dari segi tahun pembangunannya, siapa arsiteknya, dan berapa biaya yang dibutuhkan.  Dikatakan menjadi misteri karena jalur kanal ini telah terdapat di peta tahun 1855 padahal kali Manggis sebagai pemasok airnya baru dibangun 1856 hingga 1857.  Selain itu, jalur yang persis sama hanya di kota saja sementara di utara kota mempunyai jalur yang berbeda dari kali Manggis.

Menurut Soekimin Adiwiratmoko, boog kotta leiding dibangun pada tahun 1857.  Apabila benar, maka boog kotta leiding merupakan renovasi dari saluran creek lama yang telah disebutkan di atas.  Renovasi dilakukan dengan meninggikan saluran menjadi seperti yang bisa kita lihat saat ini.

Saluran air yang berada di atas gundukan tanah membujur dari kampung Peniten di Menowo hingga samping kantor PDAM.  Gundukan tanah di daerah ini hampir sama dengan tanah normal di sekitarnya.  Saat ini, saluran terhalang tembok Balai Diklat Keuangan menembus daerah Gereja Katholik Ignasius, melewati bawah tanah halaman Masjid Agung Kota Magelang, lalu agak melenceng sedikit lewat bawah gedung Bank Jateng cabang Magelang.  Dari sini, saluran air bisa diikuti melewati daerah kebon hingga ke Jalan Daha.  Berdasarkan peta kota Magelang tahun 1923 dan 1935, telah terjadi beberapa perubahan aliran boog kota leiding di depan gedung Ahmad Yani.  Dulunya saluran ini lurus ke arah selatan berdampingan di sisi timur jalan Gatot Subroto. Bekas-bekasnya masih dapat kita jumpai.

Fungsi
Peninggian kanal otomatis meningkatkan daya gravitasi sehingga mampu menggelontor limbah rumah tangga.  Artinya, sanitasi terjaga.  Contoh yang paling mudah dilihat adalah di kompleks MULO School yang saat ini menjadi SMPN 1 Magelang.  Dahulu selokan kompleks tersebut dialiri air nonstop dari boog kotta leiding yang berada di atasnya.  Gemericik air jernih cukup deras mengaliri selokan yang berisi siput air, kepiting, dan ikan-ikan kecil.  Di bagian kota yang lain, air boog kotta leiding bisa digunakan petugas untuk menyiram tanaman, sumber air pemadam kebakaranyang sangat dekat,dansaat melewati stasiun Magelang Kotta bisa dimanfaatkan untuk pengisian air pendingin lokomotif.

Plengkung
Dimata pemerintah Belanda, Kedoe punya dua sisi.  Di satu sisi, wilayah ini sangat subur dan banyak penduduknya sehingga tidak bisa ditinggalkan.  Di sisi lain, wilayah Kedoe rawan pemberontakan.  Oleh sebab itu, Belanda memutuskan tidak mengembalikan pasukan kiriman yang sudah ada di Kedoe selama Perang Diponegoro.  Kebutuhan akan tangsi dan rumah tinggal tentara menjadi diperlukan.  Hingga tahun 1870, tentara KNIL di Magelang mendiami barak-barak dari bambu dan sebagian dari kayu.  Pada tahun 1880, pemerintah membuat peta rencana pembangunan tangsi yang saat ini dikenal sebagai Rindam.  Dalam peta tersebut direncanakan dibangun 50 bangunan namun saat pembangunannya tahun 1883 hanya terbangun 8 gedung. 

Pada beberapa bagian boog kotta leiding, ada terowongan di bawah kanal yang dipergunakan sebagai jalan pintas.  Terowongan dibuat dengan membuat bangunan penyangga kanal di atasnya.  Bangunan tersebut secara umum disebut aquaduct yangberasal dari kata Latin aqua (=air) dan kata ducere (=memimpin).  Aquaduct tersebut mempunyai lengkungan di bagian atas sehingga orang Magelang menyebutnya dengan istilah Plengkung.  Sepanjang boog kotta leiding terdapat 3 plengkung.

Pada jarak HM 1450 (1450 hektometer dari hulu boog kotta leiding) dapat kita temui sebuah plengkung pertama yang disebut Plengkung Baru (1920).Plengkung tersebut menghubungkan perumahan perwira di Badaan menuju Kaderschool (1883) dan Militaire Hospitaal (1893).Pada jarak 400 meter di selatannya ada Plengkung Lama yang mempunyai tulisan 1883 di sisi timurnya.  Aquaduct berbahan material batu kali tersebut kini telah diplester semen dan menghilangkan tulisan 1883-nya.  Plengkung Lama menjadi akses jalan tembus antara Groote Weg Noord, Stasiun Magelang Kotta, Militair Hospitaal (RST) dan tangsi militer dengan kawasan Badaan (Badaan Plantsoen), Badaan Noord, dan pemukiman warga. Pada jarak 2 kilometer sebelah selatannya kita jumpai Plengkung Tengkon.  Tidak diketahui tahun pembangunan plengkung ini namun diperkirakan mempunyai arus lalu lintas paling padat dibanding dua plengkung lainnya.  Buktinya adalah adanya satu terowongan utama dan dua terowongan pendukung di kiri-kanannya.  Pada masa Jepang, dua pintu di kanan-kiri ditutup dengan tanah untuk mempermudah pengawasan lalu-lalang.  Tahun 1999 penutup tersebut dihilangkan menjadi seperti aslinya.  Sayangnya, pada tahun 2008 plengkung Tengkon direnovasi dengan menempelkan batu hias sehingga terlihat modern dan mewah namun menghilangkan nilai bangunan tuanya.

Sirine
Posisi kanal yang tinggi dimanfaatkan pemerintah Nederlandsch Indie untuk memasang 3 buah sirine persis di atas saluran air menggunakan struktur besi berbentuk menara kecil.  Apabila diukur dari ketinggian tanah normal, posisi sirine seakan menggantikan posisi di atas menara tinggi.  Ketiga sirine tersebut dikenal sebagai Menara Potrosaran (HM 900), Menara Botton di atas SMK Negeri 3 Magelang (HM 1850), dan Menara Kemirikerep (HM 3650).  Selain ketiga sirine itu, ada satu lagi sirine tertinggi yang berada di atas watertoren.  Konon apabila sirine di atas watertoren dibunyikan, ketiga sirine lainnya otomatis akan berbunyi.
Fungsi sirine di masa Nederlandsch Indie adalah untuk memberikan peringatan atas bencana dan di masa Jepang menjadi penanda diberlakukannya jam malam.  Tidak diketahui sejak kapan pemasangan sirine itu namun pada tahun 1930 sirine itu telah ada di tempatnya.  Saat berbunyi, suara sirine tersebut dikenal dengan nama “mbengung”.  Meski demikian, suara sirine tersebut terdengar hingga daerah.

Pintu Air
Selain plengkungdan sirine, boogjuga dilengkapi dengan beberapa pintu airyang memungkinkan alirannya menggelontor limbah rumah tangga di sisi kanan-kirinya.Sayangnya, banyak pintu air yang tidak utuh lagi. Besi-besi penyusunnya raib diambil orang.  Otomatis debit air boog kotta leiding seakan tak terkontrol.  Pasrah pada keadaan.  Pada musim kemarau, aliran mulai masjid Agung hingga Jagoan seringkali kering dan penuh sampah.  Hal itu sangat kontras dengan keadaan seratusan tahun silam seperti foto di bawah ini dimana aliran air sangat jernih dan suasana sangat asri.  Saksi mata menyatakan bahwa hingga tahun 1970, aliran air masih jernih dan banyak ikannya.  Masyarakat saat itu tak sungkan mandi di dalamnya karena airnya yang jernih.


WATER TOREN
Di Magelang terdapat sebuat bangunan di pusat kota yang sangat menarik perhatian sehingga sering digunakan secara informal sebagai logo maupun penanda kota yaitu water toren.  Water toren merupakan istilah bahasa Belanda yang berarti sama dengan water tower dalam bahasa Inggris atau menara air dalam bahasa Indonesia.  Water torendibangun pada tahun 1916 diarsiteki oleh Herman Thomas Karsten.  Di Indonesia, hanya ada 3 kota yang mempunyai menara air kuno dan water toren di Magelang merupakan yang paling indah secara estetika bangunan.  Thomas Karsten adalah arsitek terkenal yang juga merancang perumahan sehat-ekonomis Kwarasan, pasar Boeloe, dan pasar Djohar. 

Water toren dibangun dengan biaya sebesar 550 ribu Gulden.  Para pekerja sebagian besar berasal dari Sulawesi.  Tercatat pernah terjadi kecelakaan kerja yaitu saat seorang pekerja terjatuh dan meninggal.   Material bangunan terdiri dari bligon, yaitu yang terdiri dari semen merah (batu bata), batu gamping, dan semen biasa.  Hingga kini, bangunan tersebut belum pernah mengalami perombakan dan masih berfungsi dengan baik meskipun beberapa kali mengalami goncangan gempa.

Water toren mulai beroperasi pada tanggal 2 Mei 1920.  Fungsinya sebagai penampungan sekaligus penyalur air jernih dari mata air guna keperluan rumah tangga seperti minum, memasak, dan lain-lain.  Menara dibangun dengan 32 pilar, tinggi 21,2 m dan dapat menampung 1,750 juta liter air.  Bangunan seluas 395,99 m initerdiri dari beberapa bagian.  Bagian paling bawah berbentuk melingkar dan digunakan sebagai laboratorium, ruang pelayanan pelanggan, ruang administrasi,
dan ruang pengontrol air.  Jika dijumlah dengan pintu masuk dan kamar kecil, jumlah ruangan yang ada di lingkaran bawah berjumlah 16 ruangan. Saat ini, bangunan-bangunan tersebut beralih fungsi menjadi gudang.

Dari luar, terlihat pilar-pilar menopang penampungan air pada bagian pinggir.  Pada bagian tengah, terlihat tiang beton besar dengan diameter 3 meter. Didalam beton tersebut terdapat tangga bertingkat tiga terdiri dari 18 anak tangga. Tangga tersebut menghubungkan lingkaran bawah dengan lingkaran diatas.  Pada bagian atas tempat penampungan air terdapat ruang kecil dan menara tempat sirene.

Selain itu ada sebuah ruang hampa yang difungsikan untuk mengatur tekanan air. Untuk mengontrol dan menggerakkan air agar sampai kepelanggan, di menara tersebut terdapat tiga alat pengontrol air.  Ada tiga mesin merk Schafter &Budenberg (Jerman) dan Ruhaak & Co (Belanda) yang berfungsi memastikan air melalui pipa-pipa induk untuk disalurkan melalui pipa sekunder ke rumah warga.

Berdasarkan arsip, ada 7 pipa induk yaitu di Jalan Diponegoro (1,685 km), Jalan Bandongan (4 km), Jalan Aloon-aloon Utara (140 m), Jalan Aloon-aloon selatan (110 m), Jalan Tentara Pelajar (860 m) Jalan Pemuda (1,065 km) dan Jalan Gatot Subroto (760 m). Pipa-pipa tersebut bermerk Century Utrecht NV Solten Fabriekdan terletak dibawah tanah.

Water toren mampu mencukupi kebutuhan air masyarakat Kota Magelang hingga tahun 1960.  Saat jumlah penduduk meningkat dan kebutuhan air tidak terpenuhi, ditambahlah pasokan air dari Tuk Mas.  Tuk Mas merupakan mata air legendaris karena telah didatangi bangsa India saat awal-awal hadir ke tanah Jawa (prasasti Tuk Mas).  Mata air Tuk Mas dianggap menyerupai mata air suci di India yaitu Gangga.  Menurut kesaksian penjaga air water toren, mata air Tuk Mas sangat unik karena di musim kemarau justru bertambah deras debitnya.

Di dalam water toren tersimpan arsip fisik berupa gambar konstruksi beserta ukuran dan jumlahnya.  Ukuran kertasnya sekitar 1 m x 10 m.  Sayangnya, arsip tersebut konon telah disobek orang tak bertanggung jawab.


BUNKER DI ALUN2?
Pada masa pemerintahan Nederlandsch Indie, di sebelah tenggara water toren terdapat air mancur yang sangat indah landscape-nya dilihat dari atas water toren seperti foto di samping.  Air mancur di era tempo doeloe menjadi perlambang kemakmuran, seakan untuk menunjukkan pada orang luar kota bahwa air tidak menjadi masalah di kota ini.

Di bawah air mancur itu, sebagian masyarakat menyatakan terdapat bunker (karena tidak terlihat seperti saluran air).  Konon bunker tersebut bisa memuat sekitar 25 orang.  Pintu masuknya ada di sisi barat laut air mancur.  Tinggi bunker sekitar 2 meter dan fungsi utamanya untuk perlindungan di masa perang.  Lebih lanjut informasi menyebutkan bahwa di bawah jalan depan Trio Plaza saat ini masih terdapat pipa besi besar yang ukurannya bisa dimasuki orang.  Pipa tersebut membujur dari depan BPLK menuju timur dan mengalirkan air menuju Kali Manggis.  Sepanjang jalan Tentara Pelajar sampai alun-alun ada saluran bawah tanah, terhubung dengan saluran lain ke barat menuju Kalibening. Di masa Belanda, saluran gorong-gorong memang dibuat selayaknya kota-kota di Eropa.  Setiap 50 meter terdapat lobang masuk di kiri-kanan jalan.  Lobang tersebut berdiameter sekitar 75 cm di permukaan jalan.  Suatu saat, pintu-pintu besi dipermukaan gang Cempaka, Bayeman Mudal, dan jalan Gereja (sekarang Brigjen Katamso) dilas oleh petugas dari Kelurahan Kemirirejo.  Tujuannya agar anak-anak tidak bisa masuk dan bermain di dalamnya.  Penyebabnya sering terjadi anak-anak bermain di gorong-gorong kemudian hanyut terbawa banjir.


VISI KEDEPAN
Visi seseorang bisa saja berbeda satu sama lain.  Begitu pula visi kedepan berkaitan dengan kanal boog kotta leiding di Magelang ini.  Stempel bangunan cagar budaya seharusnya telah melekat erat pada plengkung dan boog kotta leiding sebagai satu kesatuan sehingga saluran air ini harus dijaga keaslian serta kelestariannya.  Meski begitu, pemanfaatan secara positif untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat boleh dilakukan asal tidak merusak bangunan cagar budaya ini.  Aquaduct tinggi di atas tanah tidak terlalu banyak di dunia.  Salah satu yang cukup mengesankan adalah Pontcysyllte Aquaduct di timur laut Welsh, Britania Raya.  Bangunan air ini dibangun sebelum boog kotta leiding yaitu tahun 1795 – 1805 dengan tujuan sebagai transportasi tambang batubara, besi, dan lain-lain menggunakan perahu.  Kini, kanal di atas tanah tersebut dipergunakan untuk wisata.  Hal tersebut sebenarnya bisa diadaptasi pada boog kotta leiding dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu.  Misalnya lebar dan kedalaman boog yang sedikit lebih sempit dari Pontcysyllte membuat kapal yang digunakan harus ringan dan lebih sempit seukuran roller coaster.  Kalau tidak memungkinkan, aneka kegiatan air seperti kanoing, tubing, dan lain sejenisnya bisa digunakan.  Debit air dijaga kestabilannya dengan arus yang pelan.  Jembatan penyeberangan pejalan kaki diimprovisasi agar bisa membuka dan menutup.

Visi tersebut di atas hanya sebuah contoh.  Prinsip melestarikan bangunan cagar budaya harus dijunjung tinggi sehingga pemanfaatan apapun terhadap boog kotta leiding harus dilakukan secara bijaksana.  Sebijaksana siapapun para pendahulu kota Magelang yang telah mewariskan saluran air kehidupan.


1 komentar:

  1. Saya jadi curiga, di Kalibening ada ruangan tak berpintu yang setengah bangunannya terbenam air (seukuran perut orang dewasa) apakah ini yang menghubungkan ke Magelang kota?

    BalasHapus