Selamat datang di Novo Olshop ! Pilih barang yang anda inginkan dan sms atau WA ke 0838 4000 1415

Senin, 29 Mei 2017

Nusantara & Magelang dibawah Inggris (1811-1816) : Raffless Sang Perompak dan Babak Baru Magelang

Dipublikasikan pertama kali tanggal 26 Januari 2014
oleh Novo Indarto
(Seri 4) 
Pada tanggal 3 Agustus 1811, Gubernur Jendral India yaitu Gilbert Elliot Murray Kynynmound atau Earl Minto pertama mengultimatum agar Janssens menyerahkan Jawa. Permintaan itu tentu ditolak. Kita tahu jalur Daendels telah disiapkan untuk menanggulangi serangan Inggris.
Janssens bukanlah seorang perwira lapangan yang cakap taktik strategi berperang seperti Daendels. Janssens memang pandai dalam urusan logistik, namun bukan dalam hal memimpin pasukan. Dia tidak lebih dari perwira salon, demikian Mayor Jenderal Sir Samuel Auchmuty yang menemani Earl Minto dan ditunjuk memimpin armada Inggris mendefinisikan karakter Jenderal Janssens yang berkuasa 6 bulan itu.
Akibatnya, tidak banyak yang dilakukan oleh Janssens ketika pasukan Inggris dengan kekuatan 60 kapal menyerang Batavia dibawah komando Kolonel Gillespie pada tanggal 26 Agustus 1811 kecuali mundur ke Bogor. Dari Bogor Janssens dan pasukannya mundur ke Semarang. Di sana Janssens mendapat tambahan pasukan Eropa dari garnisun Semarang dan Surabaya. Ditambah lagi prajurit dari Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Legiun Mangkunegara pimpinan Prang Wedana juga diberangkatkan dari Surakarta untuk membantu pihak Perancis-Belanda. Pasukan-pasukan bekas kerajaan Mataram itu beriring-iringan melewati Magelang dengan gagah. Tapi pemimpin kadang adalah segalanya. Meski diberi bantuan pasukan Jawa yang cakap dan keadaan geografis di Semarang menguntungkan pihak Perancis-Belanda, namun hal itu tidak membuat pasukan Perancis-Belanda berhasil memukul mundur pasukan Inggris. Yang terjadi justru kebalikannya. Serangan yang bertubi-tubi dan mengejutkan dari pihak Inggris berhasil membuat Janssens memutuskan untuk mundur ke Ungaran.
Di Ungaran terdapat sebuah benteng yang bisa digunakan sebagai tempat perawatan pasukan yang luka-luka, namun belum sempat memulihkan kondisi pasukan dan mengatur siasat, pasukan Inggris telah berhasil menyeberangi jembatan di dekat Benteng Ungaran. Janssens dan beberapa pasukan yang tersisa terpaksa mundur ke Tuntang.
Akhirnya di Tuntang setelah pihak Inggris dibawah komando Kolonel Gibbs melakukan tekanan, Jenderal Janssens menyatakan menyerah kepada Inggris tanggal 18 September 1811 (dikenal dengan Kapitulasi Tuntang). Pihak Prancis jarang sekali disebut oleh penulis-penulis Indonesia, padahal Jendral Jumael turut menyerah empat hari kemudian tanggal 22 September 1811 di sebuah benteng di Salatiga. Sebelumnya, saat di Batavia anak buahnya yaitu Kolonel Mulder meledakkan diri di gudang mesiu dan jenazahnya beserta para anak buahnya dibenamkan di rawa bangke. Setelah menang, Inggris membawa Jenderal Jumael dan anak buahnya ke Calcutta, India. Jumlah tawanan Prancis-Belanda adalah 6.000 orang, 62 tentara Inggris tewas, 371 tentara gabungan Eropa luka, dan 13 tentara Sepoy tewas.
Dengan Kapitulasi Tuntang, maka Jawa resmi jatuh di tangan Inggris. Kalau tentara Prancis dibawa ke Calcutta India, maka lagi-lagi tentara dan opsir Belanda tidak ditawan namun dipekerjakan oleh pihak Inggris. Earl Minto menunjuk Thomas Stamford Raffles dari sipil untuk menjadi pemimpin Hindia Belanda, satu-satunya pemimpin Hindia Belanda yang berpangkat Letnan Jendral (seingkat di bawah Gubernur Jenderal) namun kemudian hari dianggap penguasa Hindia Belanda terbesar.
Masa itu adalah masa kerajaan. Kalau Kasunanan Surakarta tunduk pada Inggris, maka tidak dengan Kasultanan Yogyakarta yang membawahi Magelang. Ia menjadi satu-satunya wilayah di Jawa yang belum takluk.
Tanggal 19 Juni 1812, Kolonel Robert Rollo Gillespie yang menganut freemason ini menyerang keraton Yogyakarta. Yogyakarta diperkuat oleh 100 pucuk pistol dan 30.000 pasukan bersenjata tradisional. Sementara Gillespie hanya membawa 1500 pasukan bersenjata api lengkap yang secara resmi diklain tidak satupun tewas. Untuk menghadapi pasukan tradisional Yogyakarta yang terkenal tangguh, ia mengerahkan pasukan Sepoy dari India yang terkenal tangguh pula. Karena itu pulalah perang/geger di keraton ini disebut sebagai Geger Sepoy. Keraton digempur dari sisi pojok benteng di Wijilan.
Keesokan harinya tanggal 20 Juni 1812, Sultan HB II beserta keluarga berpakaian putih-putih, bendera putih dikibarkan, dan kursi-kursi juga dibalut kain putih. Gillespie yang tertembak lengan kirinya oleh tentara Suronatan menyerbu masuk keraton dengan beringas. Ia menyabetkan pedangnya ke kanan-kiri menebas pasukan kraton yang tersisa. Sultan HB II beserta keluarga dilucuti semua perhiasan emas permatanya termasuk keris pribadi sultan. Semua terjadi sebelum pukul 9 pagi. Mereka digiring berjalan kaki menuju rumah residen di seberang benteng Vredeburg. Hal yang memalukan untuk seorang raja di masa kolonial. Dikawal oleh pasukan sepoy dengan sangkur terhunus. Sampai gedung residen, beberapa pangeran telah menunggu. Beberapa masih segan dan berdiri tanda hormat dan sebagian tetap duduk tak bergeming tanda tak hormat.
Dalam penangkapan ini terungkap pula bahwa 200 tahun sebelum Moammar Qadafi dikawal oleh bodyguard cantik, Sultan HB II telah memiliki 300 pengawal cantik yang lemah lembut namun tangkas menembak dan berkuda. Tidak diketahui nasib 300 wanita ini setelah ikut ditangkap. Selain pengawal, salah satu istri Putra mahkota dilucuti perhiasan emas dan baju kebesarannya yang bertahtakan batu mulia. Seorang tentara Inggris tewas ditikam wanita kraton saat mau menangkapnya untuk diperkosa.
Saat tertidur di tahanan sebelum diasingkan, kancing emas bertahtakan berlian pada baju sultan dicopoti oleh petugas Sepoy yang berjaga. Pedang dan belati sultan dilucuti dan diserahkan pada Earl Minto sebagai simbol penaklukan. Bukan itu saja, perampokan besar-besaran sepanjang sejarah keraton dilakukan oleh Inggris.
Sekitar 7000 manuskrip diklaim Sultan HB X dijarah dan diangkut selama seminggu menggunakan pedati. Total pengangkutan sekitar lima kali. Manuskrip tersebut hingga 2012 belum dikembalikan. Kuli pengangkut pedati juga bukan abdi dalem tetapi bekas pengawal dan keluarga sultan sendiri. Sungguh terhina sekali. Gillespie menjarah uang keraton sejumlah 800.000 dollar Spanyol. Sebesar 74.000 dollar Spanyol (lebih dari Rp 27 miliar untuk kurs saat ini) untuk dirinya sendiri, sisanya dibagi-bagikan ke perwira lain di bawahnya. Sebagian lagi, sebesar 7.000 dollar Spanyol (lebih dari Rp 2,5 miliar untuk kurs saat ini) dibagikan kepada legiun Pangeran Prangwedana dari Mangkunagaran yang merupakan musuh bebuyutan kraton Jogja. Raffles sendiri mengambil harta keraton senilai 200.000 hingga 1.200.000 dollar Spanyol.
Dengan demikian, ucapan opsir Inggris bernama Kapten William Thorne tiga tahun setelah geger sepoy : "Semua perempuan yang berada di hunian dalam keraton tetap dihormati, dan kepemilikan harta mereka turut dilindungi. Dalam kesempatan seperti ini diperlukan disiplin yang sangat tegas bahwa tak satu pun orang dianiaya ataupun kebiadaban berlangsung.” adalah omong kosong belaka.
Kemenangan Inggris atas Hindia Belanda membuat Robert Rollo Gillespie naik jabatan menjadi pimpinan angkatan bersenjata di Hindia Belanda dengan pangkat Mayor Jendral pada 1 April 1812 sementara Samuel Auchmuty menjadi Letnan Jendral. Pada bulan Oktober Gubernur Jendral Earl Minto dan Letjend Samuel Auchmuty kembali ke India, begitu pula Mayjend Gillespie turut meninggalkan Hindia Belanda menuju peperangan lain setelah posisinya digantikan Sir Miles Nightingale. Ia tewas tertembak tepat di jantung oleh orang Nepal saat perang disana tahun 1 Oktober 1814. Auchmuty menyusul tewas 11 Agustus 1822 karena jatuh dari kuda di Irlandia.
Kekalahan Yogyakarta terhadap Inggris berdampak langsung terhadap Magelang. Pada 1 Agustus 1812 Yogyakarta harus menyerahkan pengurusan wilayah Kedu kepada Raffles yang kemudian membagi pulau Jawa menjadi 16 karesidenan. Saat itu Kedu terdiri dari Magelang dan Temanggung. Wilayah-wilayah kabupatenpun terbentuk dan bagi yang belum ada bupati diangkatlah bupati pertama seperti di Magelang. Bupati Magelang dipilih dari pegawai di Keraton Yogyakarta bernama Danoekromo. Atas petunjuk dari gurunya beliau memilih daerah antara desa Mantiasih dan desa Gelangan sebagai pusat pemerintahan.
Dari uraian di atas, maka tulisan majalah Magelang Vooruit November 1935 yaitu : "Pada permoelaan tahoen 1810 oleh orang Inggris jang waktoe itoe memegang pemerintahan disini, Magelang dipilih djadi iboe negeri kaboepaten jang senama,....." dirasa kurang tepat karena Inggris menaklukkan nusantara pertama kali di Maluku 1811 sedangkan menaklukkan Yogyakarta (dengan Magelang di dalamnya) baru tahun 1812, bukan permulaan 1810.
Bupati Magelang pertama diangkat oleh Raffles dengan ketetapan gubernur seperti yang tercantum dalam majalah tadi : ".....menoeroet beslit Goebernemen pada 30 Nopember 1813 Mas Angabei Danoekromo ditetapkan dalam djabatannja oleh Pemerintah Belanda bergelar Raden Toemenggoeng Danoeningrat."
Adapun ulasan lengkap tentang bupati pertama ini akan disampaikan dalam seri selanjutnya. :) Penemuan candi raksasa di Magelang selama pendudukan Inggris ini juga akan diulas pada seri mendatang. :)
Inggris mengakhiri kekuasaan di Indonesia banyak disebut penulis karena Konvensi Wina. Konvensi Wina yang disebut-sebut sebagai konggres besar beberapa negara termasuk Rusia ini, sebenarnya hanya berupa pertemuan beberapa kali di tempat biasa. Bukan sebuah pertemuan formal di depan meja dan tanpa notulensi dll. Dilaksanakan selama beberapa kali dari 1 September 1814 hingga 9 Juni 1815. Pada tanggal 4 Mei 1814, Napoleon Bonaparte ditangkap dan dibuang ke Pulau Elba. Berkelanjutan dengan runtuhnya kekuasaan Prancis, maka diadakan Konvensi London (sebelum Traktat London) tanggal 13 Agustus 1814 yang menghasilkan : Inggris berjanji mengembalikan kepada Belanda daerah jajahannya yang pernah direbut sejak tahun 1803, termasuk di dalamnya Jawa. Pergantian kekuasaan dari Inggris ke Belanda dilaksanakan tanggal 19 Agustus 1816 di Benteng Willem II Ungaran. Pihak Inggris diwakili oleh John Fendall. Sementara dari pihak Belanda, Raja Willem mengirimkan tiga Komisaris Jenderal yaitu C. Th. Elout sebagai kepala komite; Buyskes seorang komandan angkatan laut; dan Van der Capellen yang ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal tiga hari sebelum pergantian kekuasaan. Maka, babak baru berupa penjajahan Belanda pun DIMULAI dengan ditunjuknya G.A.G.Ph. Van der Capellen tanggal 19 Agustus 1816 sebagai Gubernur Jendral Belanda resmi pertama, atau Gubernur Jendral ke 41 yang pernah memimpin Hindia Belanda. 

____________________ 
Boleh share dan copas dengan menyebut sumbernya. Trmksh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar